Welcome to my blog

Sabtu, 02 Oktober 2010

Sakura Kenangan

Ini adalah sebuah cerpen yang saya buat untuk tugas sekolah. Mungkin tidak bagus, tapi saya akan berbagi kepada kalian semua.


#Start#

Waktu sudah menunjukkan pukul 06.15 WIB, saatnya bagi Kiran untuk berangkat ke sekolah. Pagi ini seperti hari-hari sebelumnya—mendung, gumpalan awan yang berwarna keabuan menutupi sang surya. Hal ini tidak akan membuat Kiran tidak melaksanakan kewajibannya, tetapi ia tetap tersenyum dan melaksanakan semuanya dengan semangat. ‘Hari esok akan lebih baik dan menyenangkan dari hari sebelumnya’.

Kak Firhan, kakak sepupu Kiran telah menyiapkan sepeda motornya di depan rumah untuk mengantar Kiran ke sekolah. Kak Firhan tinggal di rumah keluarga Kiran sejak sekitar 2 bulan yang lalu untuk melanjutkan pendidikannya di salah satu universitas di kota ini.

“Kiran, cepat! Kau mau terlambat atau tidak?”, teriak Kak Firhan dari bawah sana.

“Iya, Kak! Sebentar lagi!”, seruku dari dalam kamar sambil mengikat rambutku. Aku segera berlari menuruni tangga dan menghampiri Kak Firhan yang sudah siap mengantarku.

Lalu Kak Firhan pun menjalankan sepeda motornya. Waktu yang ditempuh dari rumah ke sekolah adalah sekitar 20 menit. Cukup jauh memang, tapi Kak Firhan tidak pernah mempercepat kecepatan laju sepeda motornya agar tidak terjadi sebuah kecelakaan. Lebih baik menghindari daripada mengobati.

Tak terasa aku pun sudah sampai di sekolah, tepatnya di SMP 1. Dan aku pun segera berpamitan dengan Kak Firhan dengan sedikit candaan. Aku berjalan memasuki gedung sekolah dan menuju kelasku—kelas VIII A. Sudah hampir semua murid telah tiba, hanya beberapa yang belum terlihat.

“Kiran”, panggil seseorang dari bangku belakang sana. Lalu aku berbalik dan melihat siapa yang memanggilku. Ia adalah Ruby, yang sedang berkumpul dengan teman-temannya—Sara dan Lisa. Dan aku menghampiri mereka yang sepertinya mengajakku untuk ikut berkumpul. Katanya di kelas kami akan ada seorang murid baru, seorang perempuan tepatnya. Murid perempuan di kelas ini jadi bertambah satu, karena murid laki-laki di sini lebih banyak daripada murid perempuannya.

Bel tanda pelajaran akan dimulai pun berbunyi. Pak Ishak, wali kelas kami pun masuk ke kelas didampingi seorang perempuan yang ternyata ia adalah murid baru yang kami bicarakan tadi.

Setelah kami memberi salam, Pak Ishak pun memperkenalkan murid baru itu. Namanya adalah Reina Nabila. Orangnya cantik, rambutnya lurus kurang lebih sebahu, tinggi badannya standar dengan orang-orang seusianya, dan sepertinya ia baik dan agak pemalu. Lalu Pak Ishak menyuruh Reina duduk di bangku yang kosong di belakang, tepatnya di belakangku. Aku pun tersenyum padanya saat ia berjalan menuju bangku di belakang, dan ia pun balas senyum padaku.

Pak Ishak menyuruh kami untuk berkenalan dengan Reina pada saat jam istirahat tiba, karena sekarang pelajaran akan dimulai. Kegiatan belajar mengajar berjalan dengan baik, hingga tiba saatnya bel istirahat berbunyi. Setelah guru yang barusan mengajar kami telah keluar kelas, murid-murid yang lain pun segera menuju bangku Reina untuk berkenalan. Reina hanya melayaninya dengan senyuman yang agak malu. Aku belum sempat berkenalan dengannya, karena bangku Reina telah penuh oleh murid-murid yang ingin berkenalan dengannya.

Setelah bangku Reina mulai kosong, aku segera menghampirinya dan berkenalan.

“Hai, namaku Kiran, Kiran Syahputri. Salam kenal”, kataku sambil tersenyum dan mengulurkan tangan kepadanya untuk bersalaman—tanda perkenalan.

“Namaku Reina. Salam kenal”, balasnya sambil menjabat tanganku.

Lalu aku mengajaknya ke kantin sekolah, dan mulai bercakap-cakap dengannya. Kami mulai merasa cocok satu sama lain. Dia memang sangat menyenangkan untuk diajak mengobrol. Kami membicarakan berbagai hal, dari hal yang disukai, hal yang dibenci hingga apa yang sering dilakukan di rumah. Kami pun tertawa-tawa bila ada hal yang memang sangat konyol dan lucu.

***

Berbulan-bulan telah berlalu saat Reina masuk ke sekolah ini. Kami menjadi dua orang sahabat yang menyenangkan dan unik menurut orang lain. Uniknya adalah aku yang selalu ceria dan selalu membuat Reina tertawa, dan Reina yang agak pendiam dan pemalu yang selalu membuatku damai.

Akhir-akhir ini Reina jarang masuk sekolah, katanya ia sakit dan aku tidak tahu sakit apa yang dideritanya. Hari ini aku berencana untuk pergi ke rumah Reina untuk menjenguknya sepulang sekolah nanti. Bel tanda jam pelajaran telah usai pun berbunyi, beberapa murid berlarian ingin segera pulang, ada juga yang duduk-duduk santai.

Aku segera pergi ke rumah Reina, sebelumnya aku membeli sedikit buah-buahan sebagai buah tangan. Aku memang sering ke rumah Reina sebelumnya, jadi aku tahu jalan ke rumahnya.
Sesampainya di depan rumah Reina, aku menekan bel yang ada di dekat gerbang rumahnya dan seorang pembantu membukakan gerbangnya. Ia tersenyum kepadaku karena ia sudah sangat kenal denganku.

“Maaf, Non Kiran. Barusan Non Reina dan semuanya pergi ke rumah sakit. Katanya keadaan Non Reina semakin parah”, kata pembantu itu.

“Memangnya Reina sakit apa, Pak?”, tanyaku yang agak kaget.

“Maaf, Non. Saya tidak bisa menjelaskannya. Non Kiran pergi saja ke rumah sakit, mungkin Non Kiran akan tahu”.

Aku pun segera pergi ke rumah sakit. Setibanya di rumah sakit, aku menanyakan dimana Reina dirawat kepada salah satu perawat. Dan aku pun menuju ke ruangan yang diberitahukan perawat tadi. Di sana terlihat ibu Reina—Tante Mira yang sedang duduk dan terlihat sedih.

“Tante”, panggilku dan memberi salam padanya. “Apa yang terjadi pada Reina, Tante?”, tanyaku dan duduk di sampingnya.

“Sudah saatnya kau tahu, Tante percaya kepadamu. Kau pasti tidak akan meninggalkan Reina. Sebenarnya Reina mempunyai penyakit HIV sejak kecelakaan 2 tahun yang lalu. Kecelakaan itu membuat Reina terluka parah dan mengeluarkan banyak darah hingga Reina harus segera mendapatkan tranfusi darah. Saat itu darah yang baru saja datang dari luar kota itu segera diberikan kepada Reina, dan dokter tidak tahu bahwa di dalam darah itu terdapat virus HIV. Dan rumah sakit tidak bisa berbuat apa-apa terhadapnya. Sekarang penyakit itu bertambah parah, dan kata dokter mungkin waktunya tidak akan lama”, jelas Tante Mira yang mulai menangis.

Aku hanya tertegun kaget, air mataku mulai mengalir. Segera ku hapus air mataku dan pergi menuju kamar rawat Reina. Aku mulai membuka pintu dan berjalan memasuki ruangan yang serba putih itu dengan agak canggung.

“Hai, apa kabar? Kau sudah tahu semuanya, ya? Kalau kau takut tertular, sebaiknya kau menjauh saja dariku”, katanya saat ia tahu aku datang.

Aku langsung berlari ke arahnya dan melemparkan apa yang ku bawa ke meja di dekatnya. Aku langsung memeluknya tanpa menghiraukan apapun. Air mataku membasahi bahunya, aku terus terisak mengetahui penyakit yang ada dalam tubuh yang kupeluk sekarang. Ia pun balas memelukku dan membelai rambutku yang terurai.

“Maaf aku tidak memberi tahumu sebelumnya. Maaf aku tidak bisa terus menemanimu, tapi aku akan selalu di sisimu untuk selamanya, aku janji. Dan terima kasih kau sudah mau menemaniku”, bisiknya. Dan ia pun mulai menangis.

“Kau janji, ya?”, kataku sambil melepaskan pelukannya. Dan kami mengaitkan jari kelingking kami.

“Kau tahu bunga sakura? Seandainya di sini ada pohon sakura”, katanya berkhayal.

“Tentu saja tahu. Tidak mungkin di Indonesia ada pohon sakura, tapi ada sih di Bogor. Kalau mau, besok aku belikan pohon sakura kecil yang dari plastik itu. Di mall kan banyak”, tawarku.

“Oke! Makasih, Kiran”, jawabnya. Terlihat dari wajahnya bahwa ia sangat senang.

“Kau tahu? Meski pun bunga sakura tahu bahwa dalam waktu yang singkat ia akan gugur, tapi ia tetap memancarkan keindahannya agar setiap orang yang melihatnya merasa senang”, jelasku.

“Ya, aku pun ingin seperti bunga sakura. Menyenangkan hati setiap orang meski tahu bahwa dalam waktu singkat aku akan mati”, katanya sambil memandang keluar jendela.

Sejenak kami terdiam. Merasakan hening di ruangan itu. Aku melirik jam dinding di sana, ‘sudah sore’, batinku.

“Reina, maaf aku harus pulang sekarang”, kataku memecah keheningan.

“Ya, baiklah. Hati-hati”, katanya sambil tersenyum padaku.

Aku segera pergi dari sana dan berpamitan dengan Tante Mira. Aku merasa ragu meninggalkannya, aku ingin selalu ada di sampingnya. Bahkan bila aku terkena virus HIV pun aku tidak masalah.

Setelah sampai di rumah, aku segera menghampiri Kak Firhan yang ada di kamarnya. Dan aku menceritakan semua yang terjadi. Aku menangis dan Kak Firhan memelukku. Dari dulu Kak Firhan sudah ku anggap sebagai kakakku sendiri.

“Sebaiknya kau bersikap seperti biasa kepadanya. Agar ia bisa pergi dengan tenang. Asal kau tahu saja, virus HIV tidak akan menular melalui air ludah atau apapun. Virus HIV hanya akan menular bila si penderita dan bukan penderita melakukan hubungan sex dan juga melalui darah. Bila darah atau luka kita terkena darah si penderita HIV, kita pun bisa terkena HIV”, jelasnya.

“Iya, Kak. Tapi mangapa di usianya yang terhitung belia ia harus menanggung semua itu—“.

“Itu semua jalan Tuhan untuknya, Kiran. Kita semua hanya menjalaninya, bukan merubahnya atau manghancurkannya. Semua orang, hewan dan tumbuhan pasti akan mati, hanya saja waktunya yang berbeda-beda”, potongnya. Kak Firhan memegang kedua bahuku dan menatapku dalam—meyakinkan.

“Iya, aku mengerti. Terima kasih, Kak. Boleh aku minta antar ke mall untuk membeli pohon sakura yang terbuat dari plastik?”, pintaku.

“Tentu saja”, katanya mengiyakan.

Kami pun pergi ke sebuah mall dan membeli dua pohon sakura kecil yang terbuat dari plastik itu. Satu untukku dan satunya lagi untuk Reina. Dia pasti akan sangat senang.

Matahari sudah tenggelam sejak tadi, kini saatnya kami pulang. Tapi saat itu telepon genggamku bergetar tanda ada yang menelpon, Tante Mira. Ia menelpon sambil menangis, dan katanya Reina sedang dalam kondisi sangat kritis dan menyuruhku datang ke rumah sakit karena Reina ingin bertemu denganku. Lalu kami membatalkan untuk pulang ke rumah dan pergi ke rumah sakit.

Di sana orang tua Reina sedang menungguku, Tante Mira sedang menangis. Aku pun langsung masuk ke ruangan Reina dengan membawa barang yang tadi aku beli. Di sana ia sedang berbaring dengan memakai masker oksigen untuk membantunya bernapas. Saat aku masuk, ia menoleh dan tersenyum kepadaku. Dan aku balas senyum kepadanya, berusaha menyembunyikan kesedihan.

“Ini pohon sakura yang kujanjikan. Aku membelinya dua, satu untukmu dan satu untukmu”, kataku masih tersenyum.

“Terima kasih”, katanya seperti berbisik. Ia mengambil pohon sakura yang kuberikan kepadanya. Ia tersenyum senang. Aku mendekatkan telingaku ke mulutnya yang sepertinya ingin mengatakan sesuatu. “Cantik, ini sangat cantik. Kau memang sahabatku yang terbaik. Bila nanti aku mati, simpanlah punyaku di kamarmu dan punyamu di kamarku sebagai sebuah kenangan kita berdua”, katanya lemah.

“Iya, baiklah. Kau juga sahabatku yang terbaik, aku tidak akan mudah melupakanmu”, jawabku. Air mataku mulai mengalir, tak kuasa menahan apa yang ada di hadapanku.

“Kau harus kuat, Kiran. Aku bisa sampai di sini karena semangatmu. Kuatlah”, bisiknya saat melihat aku menangis.

Aku baru menyadari kalau orang tua Reina dan Kak Firhan ada di belakangku. Dan saat ini lah yang tidak aku inginkan sama sekali.

“Terima kasih, semua”, itulah kata terakhir dari Reina untuk kami semua. Ia menghembuskan napas terakhirnya saat itu. Ia pergi membawa kebahagiaannya, pergi dengan tenang. Semua orang yang ada di ruangan itu menangis, termasuk aku. Dan Kak Firhan memelukku, mencoba menenangkanku.

Keesokan harinya Reina dimakamkan, semua teman-teman kami, Pak Ishak, dan yang lainnya hadir di pemakaman itu. Mereka semua berdoa untuk Reina. Setelah pemakaman telah selesai, semuanya pulang. Aku menitipkan pohon sakura punyaku kepada Tante Mira untuk di simpan di kamar Reina, dan Tante Mira berterima kasih atas semua yang telah aku lakukan terhadap Reina.
Aku duduk di pinggir gundukan tanah bertabur bunga yang menutupi jasad Reina. Aku menangis dan Kak Firhan merangkulku.

“Kau jangan bersedih terus, Kiran. Kalau kau terus bersedih, Reina pun pasti ikut sedih”, ucapnya.
Ya, benar. Aku tidak boleh bersedih terus-menerus, karena Reina sudah berjanji bahwa dia akan selalu di sisiku. Aku percaya pada Reina. Pohon sakura yang menjadi sebuah kenangan kami berdua akan selalu ku simpan. Dan Reina akan selalu di hatiku. Selamanya.

#The End#  ^.<

3 komentar: